FARIDA PATITTINGI
 
  Home
  Contact
  Guestbook
Home

 

PERANAN HUKUM ADAT DALAM PEMBINAAN HUKUM NASIONAL DALAM ERA GLOBALISASI

Oleh: Farida Patittingi
e-mail: patittingi@yahoo.co.id
Fakultas Hukum UNHAS


Abstrak:
Hukum Adat sebagai hukum yang bersumber dari kesadaran dan budaya bangsa, yakni hukum yang merupakan pernyataan lansung dari kesadaran dan perasaan hukum bangsa Indonesia, masih memegang peranan yang sangat penting sebagai sumber utama dalam rangka pembinaan hukum nasional, yaitu untuk memperoleh bahan-bahannya berupa asas-asas yang kemudian dirumuskan menjadi norma-norma hukum yang tertulis.

 
 
A.    Pendahuluan
 
Sejak kemerdekaan diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, maka secara politis Indonesia telah menjadi negara yang merdeka dan berdaulat. Kemerdekaan adalah suatu jembatan untuk membangun kembali masyarakat Indonesia yang telah sekian lama dikendalikan oleh kekuasaan-kekuasaan asing dalam kehidupan politik, ekonomi dan sosialnya. Sejak kemerdekaan dan selanjutnya, menjadi kewajiban yang sangat penting bagi para pemimpin untuk membuat kemerdekaan itu menjadi berarti bagi rakyat. Dengan tamatnya masa kolonial, maka kita dihadapkan pada masalah mengubah dan membaharui Indonesia, yang berarti meruntuhkan tata tertib masyarakat yang lampau dan menciptakan ukuran-ukuran baru berdasarkan kebutuhan-kebutuhan nasional bagi bangsa Indonesia, disesuaikan dengan sayarat-syarat hidup modern (Supomo, 1966:5).
Sesungguhnya nasionalisme yang sehat dan bersifat membangun, harus bergandengan tangan dengan internasionalisme yang sehat pula. Ini berarti bahwa tata tertib sosial baru yang dibentuk mencantumkan dengan tepat warisan kebudayaan pada proses modernisasi, yaitu mempertinggi taraf-taraf penghidupan yang harus mendapat tempat pertama dalam program nasional. Walaupun tidak dapat dipungkiri bahwa dalam proses modernisasi, ekspansi dunia Barat tetap memberi warna pada corak dunia, sehingga dalam prakteknya sering diartikan sebagai memungut lembaga-lembaga dan cita-cita Barat. Khususnya cita-cita Barat tentang kemajuan tanpa harus meninggalkan kehormatan dan harga dirinya sendiri sebagai orang timur, yang tetap akan mempertahankan kebudayaannya (Supomo, 1966:6).
Berdasarkan pernyataan Supomo tersebut di atas, maka tidak dapat dipungkiri bahwa ekspansi dunia Barat tetap akan mewarnai proses pembangunan hukum nasional. Dengan demikian, menurut Sunaryati Hartono (1991 : 37),  kiranya yang perlu terlebih dahulu disepakati yaitu apakah yang sebenarnya dimaksud dengan Hukum Nasional atau Sistem Hukum Nasional. Menurut Sunaryati Hartono (1991:37), Pengertian Hukum Nasional dipakai dalam arti yang berbeda dengan pengertian Hukum Positif, tetapi lebih mengandung arti  ius constituendum  atau sistem hukum yang dicita-citakan oleh bangsa Indonesia. Karena suatu sistem itu selalu terdiri atas sejumlah unsur atau komponen yang saling berkaitan dan pengaruh mempengaruhi, yang terikat oleh satu atau beberapa asas tertentu, maka sistem hukum pun terdiri atas sejumlah unsur yang sebagian pada saat ini sudah ada atau berfungsi, tetapi sebagian lagi masih harus diciptakan.
Namun menurut Koesnoe (1979 : 103), persoalan bagaimana wujudnya Hukum Nasional yang kita inginkan ternyata menyangkut masalah-masalah yang lebih dalam dari hanya asal membentuk saja, karena persoalan ini membawa kita kepada masalah tentang bahan-bahan hukum yang mana harus dipergunakan. Artinya, apakah hukum nasional kita itu sebagai hukum dari sesuatu bangsa dari suatu yang moderen, masih harus mempergunakan bahan-bahan hukum warisn masa silam, ataukah menggantinya dengan bahan-bahan hukum yang memang khas milik bangsa kita yaitu Hukum Adat di dalam rangka Hukum Nasional ?
 
B. Pembahasan
1.    Pengertian Hukum Nasional
 
Dalam rangka pembinaan Hukum Nasional, maka sejak sebelum Proklamsi Kemerdekaan hingga pada GBHN tahun 1993, bangsa indonesia bertekad memiliki satu sistem Hukum Nasional yang berklaku diseluruh wilayah Republik Indonesia bagi semua warga negara, bahkan untuk hal-hal tertentu juga bagi semua penduduk Indonesia. Oleh karena itu, pembinaan Hukum Nasional harus dilakukan berdasarkan Wawasan Nusantara dan Wawasan Kebangsaan.
Dalam GBHN tahun 1993 huruf F tentang Arah Pembangunan Jangka Panjang Kedua, angka 17 telah ditegaskan mengenai arah pembangunan Hukum Nasional, yaitu :
Dalam rangka memantapkan sistem Hukum Nasional yang bersumber pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, pembangunan hukm diarahkan untuk menghasilkan produk hukum nasional yang mampu mengatur tugas umum pemerintahan dan penyelenggaraan pembangunan nasional, didukung oleh aparatur hukum yang bersih, berwibawa, penuh pengabdian, sadar dan taat hukum, mempunyai rasa keadilan sesuai dengan kemanusiaan, serta yang profesional, efisien dan efektif, dilengkapi sarana dn prasarana hukum yang memadai serta pengembangan masyarakat yang sadar dan taat hukum. Penyusunan dan perencanaan Hukum Nasional harus dilakukan secara terpadu dalam sistem hukum nasional.
Berdasarkan hal tersebut, maka yang terpenting dalam pembinaan hukum nasional adalah pembangunan sistem hukum itu sendiri. Hal ini menjadi penting, karena menurut  Sunaryati Hartono (1991;38)  apabila kita berbicara tentang hukum maka aspek yang terkait menjadi sangat luas, sehingga tidak hanya terbatas pada undang-undang, perundang-undangan atau peraturan tertulis lainnya. Namun lebih luas dari itu, bahwa hukum mempunyai banyak aspek dan terdiri dari jauh lebih banyak komponen atau unsur yang lain, seperti filsafat hukum, sumber hukum, yurisprudensi, hukum kebiasaan, penegakan hukum, pelayanan hukum, profesi hukum, lembaga hukum, pranata hukum, prosedur dan mekanisme hukum, hukum acara, pendidikan hukum, perilaku hukum masyarakat maupun pejabat hukum, atau perilaku profesi hukum, kesadaran hukum, dan sebagainya. Semua itulah yang membangun sistem hukum, yaitu hubungan dan kaitan pengaruh mempengaruhi satu sama lain antara bebrbagai komponen atau unsur yang disebut diatas tadi. Aspek atau unsur mana yang dianggap paling penting, tergantung dari falsafah hukum yang dianut oleh sistem hukum yang bersangkutan.
Jika hukum itu akan dirumuskan, maka berdasarkan Ensiklopedia Indonesia, Ichtiar Baru-Van Hoeve, Jakarta, 1982, hal.1344 (dalam Sunaryati Hartono, 1991:40)  dikatakan bahwa hukum merupakan … rangkaian kaidah, peraturan-peraturan, tata aturan, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis…, yang menentukan atau mengatur hubungan-hubungan antara para anggota masyarakat.
Dalam rumusan tersebut, penekanannya diletakkan pada hukum sebagai suatu rangkaian kaidah, peraturan dan tata aturan (proses dan prosedur). Juga dibedakan antara sumber hukum (undang-undang dalam hal kaidah yang tertulis, dan kebiasaan dalam hukum kebiasaan).
Hukum adat salah satu unsur atau komponen dalam sistem hukum, yang merupakan sumber hukum tidak tertulis, menjadi salh satu unsur yang mempunyai peranan yang penting dalm rangka pembinaan hukum Nasional.
Namun menurut Koesnoe (1979:104),  jika hukum diterima sebagai suatu yang mengatur kehidupan di dalam perhubungan kemasyarakatan, maka pendirian seperti ini akan membawa pelbagai konsekuensi. Yang terpenting dari konsekuensi tersebut antara lain :
Pertama, hukum itu akan berisi peraturan-peraturan yang mengatur macam-macam pergaulan yang terdapat dalam masyarakat tersebut, yang timbul dari kebutuhan dan kegiatan masyarakat yang bersangkutan. Hal tersebut berarti bahwa setiap masyarakat akan mempunyai macam-macam pergaulannya sendiri yang berbeda dengan masyarakat yang lain, yang akan diserahkan pada hukum untuk diaturnya.
Kedua, bagaimana isi aturannya harus dimulai dari sesuatu gambaran bagaimana yang tertib yang dikehendaki. Jadi menetapkan peraturan-peraturan hukum, harus dibimbing oleh pikiran-pikiran dan cita-cita yang dimiliki oleh masyarakat yang bersangkutan, misalnya bagaimana ketertiban itu seharusnya agar sesuai dengan cita-cita keadilan, cita-cita kepatutan yang hidup, dan apa yang dapat dimengerti atau dihayati secara mudah oleh masyarakat yang bersabgkutan guna diamalkan.
Berdasarkan hal-hal yang telah diutarakan tersebut diatas, maka ada dua hal yang terdapat didalam setiap tata hukum, yang mutlak harus ada dalam setiap tata hukum nasional dimana saja, yaitu bahan-bahan yang ada dalam jiwa manusia.
Bahan-bahan yang  pertama ialah bahan-bahan  riil yaitu bahan yang membentuk pergaulan kemasyarakatan, yang terdiri dari manusia, alam dan adanya kenyataan bahwa kehidupan manusia itu menurut kodratnya tunduk pada tradisi. Sedangkan bahan  kedua  ialah bahan idiil yaitu bahan yang memimpin bagaimana susunan, bentuk dan arah dari pengaturan oleh hukum itu. Bahan ini terletak dalam jiwa manusia dan berbentuk sebagai pikiran, perasaan dan cita-cita mengenai hukum. Di dalam bahan-bahan idiil ini termuat pengertian-pengertian hukum, sistem-sistem hukum, asas-asas dan cita-cita hukum dari masyarakat yang bersangkutan yang kesemuanya itu di tentukan oleh tata budaya yang diikutinya (Koesnoe,1979:104-105).
Kedua macam bahan-bahan itulah yang selalu menjadi perhatian dalam pembangunan setiap tata hukum, karena setiap tata hukum bertujuan mengatur persoalan-persoalan yang timbul di dalam masyarakatnya, demikian halnya pengaturan dan penertibannya diserahkan kepada pikiran-pikiran dan cita-cita yang hidup dalam masyarakatnya.
Dalam rangka pembinaan Hukum Nasional – seperti yang telaj dikemukakan di atas -- yang terpenting adalah kita harus sepakat dulu tentang apa yang dimaksud dengan Hukum Nasional itu sendiri. Dalam hal ini, pengertian yang diberikan oleh  Sunaryati Hartono (1991:37)  belum, dapat dirumuskan dalam suatu bentuk tentang apa dan bagaimana Hukum Nasional itu.
Merujuk dari bahan-bahan hukum yang terdapat di Indonesia, isi pengertian Hukum Nasional oleh Koesnoe (1979:120-121)  dibedakan dalam empat faham, yakni :
Faham Pertama, melihat Hukum Nasional sebagai hukum (positif) yang oleh pembentuk Undang-Undang Nasional dinyatakan sebagai hukum yang berlaku. Dalam pandangan ini persoalan mengenai isinya, artinya darimana hal itu diambil dan bagimana dirumuskan, bahasa apa yang dipakai, tidak menjadi persoalan. Pokoknya yang penting dalam pandangan ini, ialah bahwa pembentuk Undang-Undang Nasional menyatakan sebagai hukum di dalam wilayah Negara yang bersangkutan yakni Indonesia.
Faham Kedua, mengartikan Hukum Nasional sebagai hukum yang merupakan pernyataan langsung dari budaya nasional yang asli. Dalam hal ini faktor pembentuk Undang-Undang Nasional tidak menjadi penting. Namun yang terpenting dalam Faham kedua ini ialah mengetahui lebih dahulu tata budaya dan isi dari Kebudayaan Nasional yang bersangkutan. Pembentuk Undang-Undang dan para pejabat-pejabat hukum di dalam masyarakat hanyalah mempunyai fungsi pembantu saja, yakni merumuskan bagaimana pastinya isi dari ketentuan yang bersangkutan dan membantu memberikan kekuatan untuk dapat terlaksana dengan sebaik-baiknya.
Faham Ketiga, mengartikan bahwa Hukum Nasionl sebagai hukum yang bahan-bahannya diambil primair dari bahan-bahan nasional, artinya dari tata budaya Nasional dengan tidak menutup pintu bagi unsu-unsur luar, asal saja unsur-unsur luar tersebut diterima dan diolah dalam tata budaya Nasional, sehingga merupakan unsur yang benar-benar hidup dalam lingkungan kehidupan Nasional Peranan pembentuk Undang-Undang dalam hal ini ditempatkan sama dengan faham kedua, dengan pengertian bahwa bentuk bantuan itu adalah mengolah semua unsur-unsur itu sehingga sesuai dengan rasa hukum dan kebutuhan hukum yang hidup pada waktunya.
Faham Keempat, melihat Hukum Nasional dari segi politik, sehingga Hukum Nasional dihadpkan dengan pengertian Hukum Kolonial yang terdapat didalam masyarakat. ukUran yang dikemukakan tidaklah begitu jelas bagi masing-masing pengertian tersebut. Bagi hukum yang berasal dari masa kolonial diterima sebagai Hukum Kolonial, entah itu berasal dari pembentuk undang-undang dari masa kolonial atau berasal dari tata budaya rakyat indonesia itu sendiri. Sedangkan apa yang dimaksud dengan Hukum Nasional ialah segala hasil-hasil perundangan yang diciptakan sejak kemerdekaan oleh pembentuk undang-undang nasional.
Faham-faham mengenai apa yang dimaksud dengan Hukum Nasional tersebut diatas, dapat dijelakskan secara singkat sebagai berikut:
a.       Hukum Nasional sebagai hukum yang dinyatakan berlaku secara nasional oleh pembentuk undang-undang nasional.
  1. Hukum Nasional sebagai hukum yang bersumber dan menjadi pernyataan langsung dari tata budaya nasional.
  2. Hukum Nasional sebagai hukum yang bahan-bahannya (baik idiil maupun riil) primair adalah dari kebudayaan nasional sendiri dengan tidak menutup kemungkinan memasukkan bahan-bahan dari luar sebagai hasil pengolahan pengaruh-pengaruh luar dibawa oleh perhubungan luar nasional.
  3. Hukum Nasional sebagai pengertian politis, yakni perlawanan antara Nasional dan kolonial.
 
2. Pengertian Hukum Adat
Di dalam masyarakat kita, pengertian Hukum Adat juga massih simpang siur. Untuk lebih jelasnya, maka perlu kiranya kita mengikuti beberapa faham yang berkembang dalam masyarakat tentang apa Hukum Adat itu, seperti yang dikemukakan oleh Koesnoe (1979: 122-125), yakni:
Faham Pertama, mengasosiasikan Hukum Adat dengan hukum primitif.  Pandangan ini sering kita jumpai dalam hal bilamana kita datang pada sesuatu daerah untuk penelitian mengenai Hukum Adat. Oleh pejabat-pejabat setempat atau oleh informan-informan yang terpelajar di daerah yang bersangkutan, seringkali ditunjukkan suatu masyarakat dalam daerahnya yang hidup secara terisolir dan masih kuat berpegang pada tradisi-tradisi nenek moyangnya. Hukum Adat yang diartikan sebagai demikian, menimbulkan suatu konsekuensi yakni adanya suatu pandangan betapa tidak akan sesuainya Hukum Adat untuk dipergunakan sebagai hukum yang mengarah kepada kehidupan yang modern. Dalam pandangan ini, Hukum Adat hanya sesuai dengan kehidupan yang primitif.
Faham Kedua, melihat bahwa Hukum Adat sama dengan hukum kebiasaan dan melihat Hukum Adat sama denagn kebiasaa-kebiasaan hukum. Hukum Adat yang dilihat sama dengan hukum kebiasaan, yaitu sama dengan gewoonterecht, sama dengan customary law yakni hukum yang hidup dalam praktek hukum sehari-hari dalam bentuknya yang relatif konstan untuk sepanjang masa mengenai persoalan-persoalan hukum yang terdapat di dalam masyarakat yaang bersangkutan. Faham yang melihat Hukum Adat sebagai demikian ini membwa konsekuensi pandangan, bahwa Hukum Adat tidak berubah, tidak mengikuti perkembangan masyarakat dan tidak dapat menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Sedangkan Hukum Adat yang dilihat sebagai kebiasaan-kebiasaan hukum, akan menunjuk Hukum Adat pada kebiasaan-kebiasaan yang masih diikuti ddengan patuh oleh masyarakat desa yang masih terisolir atau masih berpegang teguh pada tradisi nenek moyangnya. Oleh karena kebiasaan hukum ialah segala tingkah laku yang nyata di dalam pergaulan kemasyarakatan sehari-hari yang menyangkut persoalan pelaksanaan suatu ketentuan hukum. Konsekuensi pandangan tersebut, melihat Hukum Adat sebagai hukum yang benar-benar tidak dapat dipergunakan di dalam kehidupan yang mengalami kemajuan.
Faham Ketiga, melihat hukum adat dalam arti sebagaimana diikuti oleh Snouck Hurgronye yang menyatakan bahwa Hukum Adat adalah Adat yang mempunyai akibat hukum, kemudian van Vollenhoven menegaskan lebih lanjut dengan menyatakan bahwa Adat yang mempunyai sanksi, dan kemudian Ter Haar lebih mempertegas untuk kepentingan penggarapan secara yuridis. Menurut Ter Haar, apabila seseorang ingin mengetahui Hukum Adat maka ditunjukkan pada keputusan para penguasa adat terhadap masalah yang terjadi di dalam atau di luar persengketaan yang terikat secara strukturil dengan nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat itu.
Faham Keempat, melihat Hukum Adat bukan sebagai suatu rumusan tentang isinya bagaimana, akan tetapi dimulai dengan menunjuk nama suatu pengertian hukum yang hidup di dalam masyarakat bangsa kita sebagai hukum yang merupakan milik bangsa, karena lahir dari perasaan dan cita-cita budaya bangsa. Faham ini menamakan hukum yang demikian itu sebagai Hukum Adat, yang dinyatakan dalam keputusan Kongres Pemuda tahun 1928 ( Sumpah Pemuda ). Kemudian dipertegas kembali pada tahun 1960 dengan adanya Ketetapan MPRS, yang dalam bidang Hukum menghendaki pembangunan Hukum Nasional berlandaskan Hukum Adat. Dalam pengertian ini, Hukum Adata sebagai golongan –golongan dalam kalangan rakyat Indonesia asli, dikehendaki menjadi hukum bagi bangsa Indonesia, artinya Hukum Nasional Indonesia.
 
3. Peranan Hukum Adat dalam Pembinaan Hukum Nasional
            Apabila dipertanyakan tentang peranan Hukum Adat dalam pembinaan Hukum Nasional, maka Hukum Adat yang mana yang dapat dipergunakan sebagai bahan dalam pembinaan Hukum Nasional. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka kita harus bersandarkan pada faham mana yang dianut.
            Apabila Hukum Nasional diartikan dalam arti menurut faham pertama, yakni hukum yang ditetapkan atau diputuskan oleh pembentuk undang-undang nasional yang berlaku bagi seluruh bangsa Indonesia, maka Hukum Adat dalam pengertian apapun tidak akan mempunyai peranan dalam pembinaan Hukum Nasional. Hal tersebut disebabkan karena menurut faham ini, kemauan pembentuk undang-undanglah yang menjadi kunci yang menentukan Hukum Nasional itu, bukan kenyataan yang hidup sebagai kesadaran dan kebutuhan hukum dari rakyat.
Namun apabila yang dijadikan patokan adalah faham yang kedua tentang Hukum Nasional, yakni hukum yang merupakan pernyataan langsung dari kesadaran dan perasaan hukum bangsa Indonesia atas dasar tata budaya nasional, maka Hukum Adat menjadi sangat penting peranannya, karena Hukum Adat itulah Hukum Nasionalnya.
Mengenai hal ini, perlu dibedakan dari faham Hukum Nasional yang berpendirian bahwa bahan-bahan hukum itu diambil dari bahan-bahan baik dari dalam maupun dari luar yang telah diolah dan diberi tempat dalam tata budaya bangsa. Berdasarkan hal tersebut, maka Hukum Adat yang dimaksudkan adalah Hukum Adat yang merupakan pernyataan hukum yang langsung dari budaya bangsa Indonesia sepanjang perkembangannya di dalam kehidupan sejarah. Jadi tidak hanya yang asli atau murni Indonesia, tetapi juga telah dicampur karena kontak dan pengaruh dari luar atau karena pengaruh dari dalam diri budaya bangsa.
Dengan demikian, maka Hukum Adat tidak perlu dikhawatirkan akan menghambat atau menentang perkembangan masyarakat kita ke arah kehidupan yang sesuai dengan tuntutan zaman. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan sifat-sifat Hukum Adat yang dinamis, keluwesan ketentuan-ketentuannya, serta asas-asanya yang universal.
Hukum Adat menjadi semakin penting peranannya dalam pembinan Hukum Nasional, karena Hukum Adat menurut ketetapan MPRS tahun 1960 merupakan landasan dari tata hukum nasional, dengan catatan bahwa yang sesuai dengan perkembangan kesadaran rakyat Indonesia dan tidak menghambat terciptanya masyarakat yang adil dan makmur.
Sedangkan dalam Pasal 5 Undang-undang Pokok Agraria, dinyatakaan bahwa Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah Hukum Adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarakan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.
Menurut Boedi Harsono ( 1994:157 ), bahwa yang dimaksudkan oleh UUPA dengan Hukum Adat itu adalah hukum aslinya golongan rakyat pribumi, yang merupakan hukum yang hidup dalam bentuk tidak tertulis dan mengandung unsur-unsur nasional yang asli, yaitu sifat kemasyarakatan dan kekeluargaan, yang berasaskan keseimbangan serta diliputi oleh suasana keagamaan.
 
4. Pangaruh Globalisasi terhadap Pambinaan Hukum Nasional
            Apabila kita berbicara tentang globalisasi, maka sesungguhnya yang terjadi adalah ketika manusia telah menguasai dan mampu menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang telekomunikasi, transportasi dan turisme. Globalisasi ini juga akan terjadi di bidang ekonomi. Dalam hal ini, apakah pengaruhnya terhadap pembinaan Hukum Nasional kita, dan hal-hal apa saja yang harus kita perhatikan untuk menghadapi arus globalisasi itu agar bangsa kita tetap memelihara identitas bangsa dimata dunia.
Menurut Sunaryati Hartono ( 1991:64 ), kerangka formal bagi pembangunan Sistem Hukum Nasional harus didasarkan pada Pancasila dan UUD 1845, sehingga setiap bidang hukum yang akan merupakan bagian dari Sistem Hukum Nasional, yang terdiri dari sejumlah peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, maupun hukum kebiasaan, wajib bersumber pada Pancasila dan UUD 1945. Karena pluralisme hukum tidak lagi ingin dipertahankan, maka unsur-unsur Hukum Adat dan Hukum Agama ditransformasikan atau menjadi bagian dari bidang-bidang hukum dalam Sistem Hukum Nasional, yang akan berkembang dalam bidang masing-masing.
Bagaimana globalisasi mempengaruhi pola perilaku dan kebiasaan-kebiasaan dari bangsa Indonesia, dapat dijelaskan dengan satu contoh yang diberikan oleh Sunaryati Hartono ( 1991 : 71 – 73 ).
Apabila kini di Indonesia sudah timbul semacam sopan santun untuk bertanya terlebih dahulu apakah kita boleh merokok, maka hal itu dilandasi suatu kesadaran bahwa asap rokok itu mencemari lingkungan dan karena itu membahayakan seluruh lingkungan sekitarnya. Di Singapura sudah menjadi hukum kebiasaan orang akan secara demonstratif menutup mulutnya dengan sapu tangan, atau bahkan menyatakan keberatannya kepada orang yang merokok di dekatnya. Di tempat-tempat umum merokok sudah dilarang oleh hukum tertulis.
Kesadaran bahwa asap rokok itu membahayakan kesehatan dan mencemari atmsofir, tumbuh karena adanya kampanye di semua negara yang bahkan disponsori oleh PBB sehingga bersifat global. Di sinilah kita melihat pengaruh globalisasi suatu hasil penelitian yang diinformasikan secara luas, yang tumbuh menjadi kesadaran untuk berkembang menjadi nilai, yang kemudian diimplementasikan ke dalam perilaku, dan melalui sopan santun, dan kebiasaan, akhirnya akan menjadi norma hukum. Di masa yang akan datang dapat diperkirakan, masih banyak norma hukum yang didasarkan pada penelitian ilmiah yang kemudian diakui secara internasional, sebagai suatu kaidah Hukum Internasional atau memiliki nilai universal, akan juga diterima dan diresepsi ke dalam Hukum Nasional kita.
Perubahan nilai dan kesadaran sebagi akibat globalisasi di bidang teknologi dan informasi, secara langsung maupun tidak langsung juga akan mempengaruhi isi dan corak dari Sistem Hukum Nasional kita.
Dengan demikian, maka Hukum Adat yang bersumber dari kesadaran dan budaya bangsa, yakni hukum yang nerupakan pernyataan langsung dari kesadaran dan perasaan hukum bangsa Indonesia atas dasar tata budaya nasional, akan memegang peranan yang penting dalam pembinaan Hukum Nasional.. Dengan globalisasi, Hukum Adat yang demikian itu tidak akan bergeser sebagai salah satu sumber yang penting dalam pembinaan Hukum Nasional. Hanya saja Hukum Adat itu perlu disesuaikan dengan keadaan yang jauh berbeda denagn sebelumnya, namun asas-asasnya tetap akan mewarnai setiap pembentukan Hukum Nasional itu.
Sebagai akibat globalisasi dan peningkatan pergaulan dan perdagangan internasional, cukup banyak peraturan-peraturan hukum asing atau yang bersifat internasional akan dituangkan ke dalam perundang-undangan nasional, misalnya dalam hal surat-surat berharga, pasar modal, kejahatan komputer, bagi hasil dan sebagainya. Terutama kaifah-kaidah hukum yang bersifat transnasional lebih cepat akan diterima sebagai Hukum Nasional, karena kaidah-kaidah hukum transnasional itu merupakan aturan permainan dalam komunikasi dan perekonomian internasional dan global. Akibatnya semakin kta memasuki abad ke 21, Hukum Nasional kita kan semakin memperlihatkan sifat yaang lebih transnasional, sehingga perbedaan-perbedaan dengan sistem hukum yang lain akan semakin berkurang ( Sunaryati Hartono, 1991 : 74 ).
 
 
C. Penutup
Seperti telah dikemukakan di atas, bahwa dalam rangka pembinaan Hukum Nasional, Hukum Adat memegang peranan yang sangat penting sebagiosumber utama, yaitu untuk memperoleh bahan-bahannya berupa asas-asas yang kemudian dapat dirumuskan menjadi norma-norma hukum yang tertulis.
Hukum adat yang dapat dijadikan bahan umntuk pembianan Hukum Nasional, ialah Hukum Adat yang bersumber dari kesadaran dan budaya bangsa, yakni hukum yang merupakan pernyataan langsung dari kesadaran dan perasaan hukum bangsa Indonesia atas dasar tata budaya nasional. Oleh karena itu, dalam era globalisasi Hukum Adat akan memegang peranan yang penting dalam mewarnai pembentukan Hukum Nasional.
Hubungan antara hukum Adat dan Hukum Nasional dalam rangka pembinaan Hukum nasional adalah hubungan yang bersifat fungsional, dalam arti bahwa Hukum Adat berfungsi sebagai sumber utama dalam mengambil bahan-bahan yang diperlukan dalam rangka pembinaan Hukum Nasional.
Unsur-unsur yang dapat diambil dari Hukum Adat sebagai bahan dalam rangka pembinaan Hukum Nasional, yaitu berupa konsepsi, asas-asas, lembaga-lembaga hukum dan sistem dari Hukum Adat itu sendiri.
Hukum Adat yang diperlukan dalam era globalisasi, yaitu Hukum Adat yang disesuaikan dengan keadaan dan perkembangan zaman, sehingga tidak menutup kemungkinan kemurnian penerapan kaidah-kaidah Hukum Adat menjadi Hukum Nasional, akan mengalami pergeseran.
 
 
 
 DAFTAR PUSTAKA
 
Boedi Harsono, 1994, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta.
 
Moh. Koesno, 1979, Catatan-catatan Terhadap Hukum Adat Dewasa Ini, Airlangga University Press, Surabaya.
 
Sunaryati Hartono, 1991, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Alumni, Bandung.
 
Soepomo, 1966, Bab-bab tentang Hukum Adat, Penerbitan Universitas, Jakarta.
 
BIODATA SINGKAT
 
Farida Patittingi, lahir di Bone, 26 Juni 1967. Menyelesaikan pendidikan S.1 pada Fakultas Hukum UNHAS tahun 1990, dan pendidikan S.2 Ilmu Hukum pada Program Pascasarjana UGM Yogyakarta tahun 2000. Kandidat Doktor bidang Ilmu Hukum pada Program Pascasarjana UNHAS. Dosen tetap pada Fakultas Hukum UNHAS sejak tahun 1991, dan sejak Januari 2007 menjabat sebagai Pembantu Dekan Bidang Kemahasiswaan Fakultas Hukum UNHAS. 
 
Pembantu Dekan III FH-UH  
  Dr. Farida Patittingi S.H., M.Hum.  
Today, there have been 4 visitors (4 hits) on this page!
This website was created for free with Own-Free-Website.com. Would you also like to have your own website?
Sign up for free